Bagaimana Hukum Mengadzankan Bayi Yang Baru Lahir
>> YOUR LINK HERE: ___ http://youtube.com/watch?v=kmYUMMjbxxU
Hadits pertama: • Dari ‘Ubaidillah bin Abi Rofi’, dari ayahnya (Abu Rofi’), beliau berkata, • رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ حِينَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ بِالصَّلَاةِ • “Aku telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumandangkan adzan di telinga Al Hasan bin ‘Ali ketika Fathimah melahirkannya dengan adzan shalat.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi) • Hadits kedua: • Dari Al Husain bin ‘Ali, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, • مَنْ وُلِدَ لَهُ مَوْلُودٌ فَأَذَّنَ فِي أُذُنِهِ الْيُمْنَى وَأَقَامَ الصَّلَاةَ فِي أُذُنِهِ الْيُسْرَى لَمْ تَضُرَّهُ أُمُّ الصِّبْيَانِ • “Setiap bayi yang baru lahir, lalu diadzankan di telinga kanan dan dikumandangkan iqomah di telinga kiri, maka ummu shibyan tidak akan membahayakannya.” (Diriwayatkan oleh Abu Ya’la dalam musnadnya dan Ibnu Sunny dalam Al Yaum wal Lailah). Ummu shibyan adalah jin (perempuan). • Hadits ketiga: • Dari Ibnu Abbas, beliau mengatakan, • أذن في أذن الحسن بن علي يوم ولد ، فأذن في أذنه اليمنى ، وأقام في أذنه اليسرى • “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adzan di telinga al-Hasan bin ‘Ali pada hari beliau dilahirkan maka beliau adzan di telinga kanan dan iqamat di telinga kiri.” (Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman) • Penilaian Pakar Hadits Mengenai Hadits-Hadits di Atas • Penilaian hadits pertama: • Para perowi hadits pertama ada enam, • مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ سُفْيَانَ قَالَ حَدَّثَنِى عَاصِمُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِى رَافِعٍ عَنْ أَبِيهِ • yaitu: Musaddad, Yahya, Sufyan, ‘Ashim bin ‘Ubaidillah, ‘Ubaidullah bin Abi Rofi’, dan Abu Rofi’. • Dalam hadits pertama ini, perowi yang jadi masalah adalah ‘Ashim bin Ubaidillah. • Ibnu Hajar menilai ‘Ashim dho’if (lemah). Begitu pula Adz Dzahabi mengatakan bahwa Ibnu Ma’in mengatakan ‘Ashim dho’if (lemah). Al Bukhari dan selainnya mengatakan bahwa ‘Ashim sering membawa hadits munkar • Dari sini nampak dari sisi sanad terdapat rawi yang lemah sehingga secara sanad, hadits ini sanadnya lemah. • Penilaian hadits kedua: • Para perowi hadits kedua ada lima, • حدثنا جبارة ، حدثنا يحيى بن العلاء ، عن مروان بن سالم ، عن طلحة بن عبيد الله ، عن حسين • yaitu: Jubaaroh, Yahya bin Al ‘Alaa’, Marwan bin Salim, Tholhah bin ‘Ubaidillah, dan Husain. • Jubaaroh dinilai oleh Ibnu Hajar dan Adz Dzahabi dho’if (lemah). • Yahya bin Al ‘Alaa’ dinilai oleh Ibnu Hajar orang yang dituduh dusta dan Adz Dzahabi menilainya matruk (hadits yang diriwayatkannya ditinggalkan). • Marwan bin Salim dinilai oleh Ibnu Hajar matruk (harus ditinggalkan), dituduh lembek dan juga dituduh dusta. • Syaikh Al Albani dalam Silsilah Adh Dho’ifah no. 321 menilai bahwa Yahya bin Al ‘Alaa’ dan Marwan bin Salim adalah dua orang yang sering memalsukan hadits. • Dari sini sudah dapat dilihat bahwa hadits kedua ini tidak dapat menguatkan hadits pertama karena syarat hadits penguat adalah cuma sekedar lemah saja, tidak boleh ada perowi yang dusta. Jadi, hadits kedua ini tidak bisa mengangkat derajat hadits pertama yang dho’if (lemah) menjadi hasan. • Penilaian hadits ketiga: • Para perowi hadits ketiga ada delapan, • وأخبرنا علي بن أحمد بن عبدان ، أخبرنا أحمد بن عبيد الصفار ، حدثنا محمد بن يونس ، حدثنا الحسن بن عمرو بن سيف السدوسي ، حدثنا القاسم بن مطيب ، عن منصور ابن صفية ، عن أبي معبد ، عن ابن عباس • yaitu: Ali bin Ahmad bin ‘Abdan, Ahmad bin ‘Ubaid Ash Shofar, Muhammad bin Yunus, Al Hasan bin Amru bin Saif As Sadusi, dan Qosim bin Muthoyyib, Manshur bin Shofiyah, Abu Ma’bad, dan Ibnu Abbas. • Al Baihaqi sendiri dalam Syu’abul Iman menilai hadits ini dho’if (lemah). Namun, apakah hadits ini bisa jadi penguat hadits pertama tadi? Kita harus melihat perowinya lagi. • Perowi yang menjadi masalah dalam hadits ini adalah Al Hasan bin Amru. • Al Hafidz berkata dalam Tahdzib At Tahdzib no. 538 mengatakan bahwa Bukhari berkata Al Hasan itu pendusta, dan Ar Razi berkata Al Hasan itu matruk (harus ditinggalkan). Sehingga Al Hafidz berkesimpulan bahwa Al Hasan ini matruk (Taqrib At Tahdzib no. 1269). • Kalau ada satu perowi yang harus ditingalkan, maka tidak ada pengaruhnya kualitas perowi lainnya sehingga hadits ini tidak bisa dijadikan penguat bagi hadits pertama tadi. • Ringkasnya, hadits kedua dan ketiga adalah hadits maudhu’ (palsu) atau mendekati maudhu’. • Dari pembahasan di atas, terlihat bahwa hadits pertama tadi memang memiliki beberapa penguat, tetapi sayangnya penguat-penguat tersebut tidak bisa mengangkatnya dari dho’if (lemah) menjadi hasan. Maka pernyataan sebagian ulama yang mengatakan bahwa hadits ini hasan adalah suatu kekeliruan. Syaikh Al Albani juga pada awalnya menilai hadits tentang adzan di telinga bayi adalah hadits yang hasan. Namun, akhirnya beliau meralat pendapat beliau ini sebagaimana beliau katakan dalam Silsilah Adh Dho’ifah no. 321. Jadi kesimpulannya, hadits yang membicarakan tentang adzan di telinga bayi adalah hadits yang lemah sehingga tidak bisa diamalkan. • • Sumber https://rumaysho.com/619-kritik-anjur...
#############################
